REVITALISASI PEMILU DI INDONESIA DEMI TERWUJUDNYA NEGARA DEMOKRATIS YANG KONSEPTUAL

 

Oleh   : Ajay Fiqri Bahrul Falah

 

Sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2004, Bangsa Indonesia telah mengalami beberapa kali pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004. Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok diterapkan  di Indonesia, jalan terjal pun dialami untuk memilah mekanisme seperi apa yang cocok diterapkan di Indonesia dengan pertimbangan dari berbagai sudut pandang diantaranya dari aspek ekonomi, geografi, antropologi sosial dan budaya. Orde reformasi dimulai pada medio tahun 1998 ketika Soeharto lengser, estafet kepemimpinan berlanjut ke B.J Habibie yang mengantarkan Indonesia ke alam demokrasi yang telah lama diidam-idamkan oleh Bangsa Indonesia. B.J Habibie memberikan nafas segar karena untuk pertama kalinya rakyat Indonesia diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik, hal yang tidak bisa dilakukan ketika Soeharto berkuasa.

Orde reformasi juga membawa beberapa perubahan yang fundamental selain memberikan kebebasan untuk mendirikan partai. Pertama, pada pemilu tahun 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang sebelumnya dipilih melalui MPR. Kedua, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Ketiga, diadakan ”electoral threshold” yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan legislatif setiap setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi badan anggota legislatif pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.

Pada tahun 2004 diadakan dua pemilihan umum, yaitu pertama pemilihan legislatif, sekaligus untuk memilih anggota DPD. Kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung tahun 2004 diselenggarakan dengan sistem dua putaran. Artinya, jika pada putaran pertama tidak ada calon yang memperoleh suara minimal yang  telah ditentukan, akan diadakan putaran kedua dengan peserta dua pasang calon yang memperoleh suara terbanyak. Yang menjadi tujuan pokok adalah adanya pasangan calon yang terpilih yang mempunyai legitimasi kuat dengan perolehan suara 50% plus 1. Seandainya pada putaran kedua tidak ada yang memperoleh suara 50% plus 1, yang akan dijadikan pertimbangan untuk menentukan pemenang adalah kemerataan dukungan suara di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.

Berdasarkan undang-undang, pemilu di Indonesia dilangsungkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Prinsip-pinsip ini pada dasarnya mencerminkan beragam aspek maupum aktivitas yang terkait dengan pemilu. Langsung berarti pemilih bisa memberikan suara tanpa ada perantara. Umum berarti semua warga negara yang memenuhi syarat tidak boleh dikecualikan atau ditiadakan hak pilihnya. Bebas berarti semua potensi masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih, yang berarti juga untuk berkompetensi sepanjang memenuhi aturan main. Rahasia dimaksudkan untuk memberikan kebebasan dan keamanan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Kemudian jujur dan adil terkait dengan penyelenggaraan pemilu yang tidak manipulatif dan memihak.

Perlu juga digarisbawahi bahwa pemilu untuk memilih wakil rakyat atau membentuk pemerintahan yang stabil dan efisien haruslah mempertimbangkan aspek-aspek berikut; pertama adalah keterwakilan. Dapat dikatakan saat ini tidak ada satu pun masyarakat politik yang tunggal dan homogen. Dengan adanya beragam ideologi dan kepentinga, maka pemilu akan memiliki makna bagi demokrasi apabila dapat mewadahi keterwakilan geografis, ideologis dan pengelompokkan sosial-politik lainnya. Kedua adalah masalah transparansi dan kejelasan. Pemilu haruslah dilangsungkan dengan tahapan-tahapan yan jelas dan transparan sehingga semua stakeholders mengetahui nekanisme dan aturan main serta konsekuensi-konsekuensinya agar pemilu memiliki legitimasi yang kuat. Terakhir adalah masalah inklusifitas, pemilu akan semakin tinggi legitimasi dan penerimaannya apabila tidak mengeliminasi peluang suatu kelompok atau minoritas untuk berkompetisi untuk memiliki wakil-wakilnya. Oleh karena itu, terkadang ada upaya afirmatif seperti pemberian kuota bagi perempuan.

Pemilu dapat dianggap demokratis apabila memiliki makna meaningful/penuh dengan arti. Artinya, pemilu haruslah memenuhi 3 kriteria utama: pertama merujuk pada adanya universal suffrage bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat objektif, pilihan-pilihan politik yang nyata dan tidak didominasi satu kekuatan serta hasilnya harus didasarkan pada penghitunga suara, bukan direkayasa atau ditentukan sebelumnya. Kedua terkait dengan pelaksanaan pendataan dan pendaftaran pemilih, kampanye, pelaksanaan pemberian suara, hingga pengesahan hasil pemilu secara benar dan akurat sesuai aturan main yang telah disepakati.  Ketiga adalah merujuk pada keluaran dari pemilu, yaitu bahwa wakil rakyat dan pejabat publik lainnya yang terpilih haruslah dapat menduduki posisinya. Mayoritas prinsip-prinsip dasar pemilu demokratis yang tercantum berlaku universal, seperti prinsip bebas, rahasia, adil dan transparan. Poin pokok yang patut diperhatikan  adalah publik dapat mengetahui dan percaya pada proses pemilu yang dilaksanakan.

Indonesia menganut sistem proporsional yang merupakan sistem pemilu yang berbasis partai politik atau pengelompokkan politik/koalisi. Rasionalitas dasar dari sistem ini adalah untuk mendekatkan sebisa mungkin perolehan suara kotestan pemilu dengan perolehan kursi di lembaga legislatif. Sistem ini juga mensyaratkan adanya kursi jamak atau lebih dari satu yang diperebutkan dalam suatu distrik pemilihan. Keunggulannya antara lain adalah: pertama,  memastikan  proporsionalitas antara perolehan suara dan kursi. Kecuali dengan penerapan parliamentary threshold yang tinggi, sistem ini tidak akan membuang suara terlalu banyak dan partai-partai kecil dan menengah memiliki harapan juga untuk memperoleh kursi. Kedua, sistem ini mendukung terbentuknya perwakilan yang representatif karena minoritas dan kelompok-kelompok terpinggirkan memiliki peluang yang cukup tinggi untuk dapat memperoleh kursi. hal ini juga berarti menunjang harmoni sosial di negara majemuk. Ketiga, mendorong orang-orang yang memiliki ideologi dan agenda politik yang sama untuk mendirikan partai dan dengan demikian akan semakin jelas warna politik masing-masing parpol. Keempat, memajukan parpol karena parpol harus senantiasa siap dengan kandidat, program dan kemampuan kampanye di semua distrik pemilihan.

 

 

Sumber referensi:

Pratikno. 2019. “Intelektual Jalan Ketiga: Pemikiran Cornelis Lay tentang Demokrasi, Desentralisasi, Nasionalisme dan Reformasi Keamanan”. Jakarta. Kepustaan Populer Gramedia.

Budiardjo, Miriam. 2008. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini