TENTANG TAN MALAKA, HIDUP YANG DIPERSEMBAHKAN UNTUK KEMERDEKAAN 100%


Oleh   : Ajay Fiqri Bahrul Falah

 

Nama lahirnya Ibrahim, di usia yang sangat muda Ibrahim menyandang gelar Datuk Tan Malaka. Hal tersebut diperoleh setelah kakeknya uzur dan meninggal dunia kemudian gelar datuk Tan Malaka turun kepadanya. Ditambah dengan kecerdasan yang mengalir deras di darah Tan Malaka, para ninik-mamak[1] pun sepakat untuk meneruskan  estafet gelar tersebut ke pundak Ibrahim hingga namanya menjadi Tan Malaka.

Tan Malaka menempuh pendidikan di Kweekschool[2] ­selama 6 tahun, setelah menyelesaikan pendidikan di Kweekschool  yang sekarang gedungnya menjadi gedung SMAN 1 Bukit Tinggi, Tan Malaka dengan saran Gerardus Hendrikus Horensma[3] melanjutkan pendidikan ke Rijkweekschool[4] Harleem Belanda, guna mendapatkan ijazah hoodfacte[5] sebagai syarat menjadi guru kepala. Meski keputusannya menempuh pendidikan ke Belanda mendapat pertentangan dari tokoh adat di nagari[6] nya, Tan Malaka tetap konsisten mencari ilmu demi menjadi seseorang yang terpelajar, beretika dan pandai berdansa.

Ketika di Haarlem,  Tan Malaka banyak mempelajari pemikiran-pemikiran tokoh dunia seperti Karl Marx, Friederich Engels, Nietzsche, Hegel dll. Di Haarlem pula-lah Tan Malaka mengenal dunia pergerakan dan perpolitikan, Tan Malaka juga ikut bergabung dengan Perhimpunan Pelajar Hindia dan aktif menulis di surat kabar De Telegraf dan Het Volk. Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo pun menjadi teman sejawatnya.

Setelah berhasil menempuh pendidikan di Belanda dengan susah payahnya, Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk mengajar di perkebunan milik gubermen[7] tepatnya di Deli Serdang. Bekerja di gubermen bukan berarti Tan Malaka melupakan kewajibannya untuk memerdekakan Indonesia, melainkan salah satu cara untuk mendidik kaum pribumi, karena tidak adanya sekolah Hindia-Belanda.

Perihal cara membawa Indonesia menjadi negara merdeka, Tan Malaka menginginkan kemerdekaan 100%. Artinya, kemerdekaan harus didapat dengan cara revolusi atau mengusir pejajah tanpa melalui perundingan apapun.

Untuk meraih cara kemerdekaan 100%, Tan Malaka bergabung dengan Partai Komunis Hindia dan menggunakan komunisme sebagai metode untuk mengusir kolonialisme/imperialisme. Tan Malaka juga menjadi perwakilan Komintern[8] di Asia Tenggara. Tahun 1926 merupakan salah satu gerakan Partai Komunis untuk memukul mundur penjajah di Banten dan Silungkang. Akan tetapi, Tan Malaka tidak menyetujui gerakan tersebut karena menganggap Partai Komunis belum siap sepenuhnya mengingat penjajah Belanda masih terlalu kuat di berbagai aspek. Akhirnya gerakan tersebut kandas ditengah jalan dan ribuan orang komunis ditangkap Belanda. Tan Malaka menyebut gerakan tersebut sebagai gerakan prematur. Padahal, Tan Malaka menyusun sebuah naskah yang diberi judul Aksi Massa[9] sebagai pedoman untuk melakukan revolusi. Tapi, naskah tersebut tidak diindahkan oleh Musso dan kawan-kawannya hingga hubungan Tan Malaka dengan Musso pun tidak lagi harmonis.

Perjuangan Tan Malaka tidak hanya di Indonesia saja, ia melarikan diri dari kejaran polisi-polisi rahasia Inggris dan Belanda ke Singapura, China, Kamboja, Myanmar, Polandia dll. Di negara-negara tersebut Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) bersama kedua temannya yaitu Subakat dan Jamaluddin Tamim. Untuk menghindari kejaran polisi-polisi rahasia Belanda dan Inggris, Tan Malaka menggunakan beberapa nama samaran seperti Elias Fuentes, Elias Hussein, Estahislau Rivera, Alisio Rivera, Ossorio, Ong Song Lee, Hassan Gozali dan Ceng Kuan Tat.

Untuk menyusun kemerdekaan, Tan Malaka menyusun sebuah buku yang berjudul Naar De Republiek[10] sebagai pedoman dan kerangka menuju Republik Indonesia yang merdeka. Ketika di Penjara pun Tan Malaka menyusun buku MADILOG[11] dan Dari Penjara Ke Penjara dan Semangat Muda.

Tan Malaka pernah berkata bahwa “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya”. Itu artinya, rasa nasionalisme Tan Malaka dan niatnya untuk memerdekakan Indonesia tidak akan mampu dibayar dengan bentuk apapun, Tan Malaka tidak menginginkan negara bentukan kolonial, Tan Malaka ingin agar rakyat bersatu melakukan sebuah revolusi untuk mengusir penjajah sampai ke akar-akarnya. Hal tersebutlah yang membuatnya berseberangan dengan Bung Karno perihal cara memerdekakan Indonesia. Hingga akhirnya Tan Malaka meninggal ditembak oleh tentara Indonesia di Selopanggung, Kediri.



[1] Paman.

[2] Sekolah untuk calon guru set.ara SMA

[3] Guru kepala da Kweekschool.

[4] Sekolah tinggi untuk calon guru.

[5] Ijazah setara S1.

[6] Desa.

[7] Pemerintahan Kolonial

[8] Komunis Internasional.

[9] Naskah yang dibukukan dengan judul yang sama.

[10] Menuju republik.

[11] Materialisme, Dialektika dan Logika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini